Mereka yang Menanti Hukuman Mati

Suud Merinding Menunggu Maut

Dalam kurun waktu yang tak terpaut jauh, sejumlah terpidana mati telah menunaikan hukuman di depan regu tembak, termasuk Sumiarsih dan Sugeng, pelaku pembunuhan berencana dari Surabaya. Di Lapas Kelas I Surabaya (Porong), masih ada enam terpidana mati lain. Akankah mereka juga bakal dicabut nyawanya di ujung peluru?

———–

HUKUMAN terhadap Sumiarsih dan Sugeng, anaknya, telah ditunaikan pada 19 Juli dini hari. Pelaku pembunuhan berencana itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, dieksekusi selusin anggota regu tembak.

Namun, kematian Sumiarsih dan Sugeng tak mengakhiri waiting list para terpidana mati di Jawa Timur. Setidaknya di Lapas Porong, ada enam orang yang dijatuhi hukuman maut karena berbagai kejahatan tersebut.

Salah satu di antara mereka adalah Suud Rusli, mantan anggota Intai Amfibi (Taifib) Korps Marinir, satuan sangat elite di tubuh TNI-AL. Suud divonis mati lantaran menembak Boedyharto Angsono, Dirut PT Asaba, pada 19 Juli 2003.

Awalnya, Suud didakwa membunuh bersama Letda Syam Ahmad Sanusi, Kopda Fidel Husni, dan Pratu Santoso Subiyanto. Mereka disewa Gunawan Santosa alias Acin untuk menuntaskan dendam Acin. Di Gelanggang Olahraga Sasana Krida, Pluit, Jakarta Utara, pembunuhan itu dilakukan. Boedyharto tewas bersama Serda Edi Siyep, anggota Kopassus, yang mengawalnya.

Suud dan Syam lalu divonis mati. Lantaran mencoreng kehormatan korps, mereka dipecat. Kopda Fidel Husni dan Pratu Santoso Subiyanto divonis bebas oleh Mahkamah Militer. Mereka dianggap tak punya keterkaitan pada pembunuhan berencana itu.

Suud dan Syam sempat menggegerkan jagat hukum lantaran berhasil membobol rumah tahanan militer yang dikenal ”angker” dan berpenjagaan ketat. Pelarian dari Rumah Tahanan Militer (RTM) Cibinong itu terjadi pada 5 Mei 2005. Pada 31 Mei 2005, Suud tertangkap di Malang dan ”dihadiahi” dua pelor di kakinya.

Namun, di pengujung 2005, Suud kembali membuktikan kepiawaian meloloskan diri. Pada 6 November 2005, dia menjebol pertahanan RTM Cimanggis. Dia kembali dibekuk pada 23 November 2005. Pada 7 Desember 2005, dia dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan Militer Pilang, Wonoayu, Surabaya. Pada 11 Juli tahun ini, Suud ditempatkan di Lapas Porong.

Syam Ahmad Sanusi, bekas atasan Suud, akhirnya mengakhiri pelarian di Pandeglang, Banten, pada Agustus 2007. Syam tewas saat disergap pasukan elite Korps Marinir.

***

Mendekam di penjara selama hampir lima tahun, termasuk 2,5 bulan di Lapas Porong, Suud tak bisa menyembunyikan sisa-sisa tempaan militer di tubuhnya. Lelaki kelahiran Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu masih begitu tegap. Memakai baju tahanan biru dan celana kain abu-abu, wibawa Suud sebagai orang yang dilatih khusus untuk bertempur juga tak hilang. Tatapan matanya masih tajam. Sekilas, Suud masih sangar.

Meski begitu, kesan sangar tersebut luruh saat Suud berbicara. Pria kelahiran 3 November 1969 itu bisa hangat dan bersahabat.

Sebagai manusia, Suud tak bisa menutupi kegundahan menghadapi hukumannya. ”Agak merinding, sih. Tapi, saya terus berdoa,” katanya saat diwawancarai pada Sabtu (26/7) di ruang kunjungan lapas.

Rasa merinding tersebut kian kuat saat Suud mengikuti berita eksekusi Sugeng, kawannya yang baru dikenal sekitar dua bulan. Berita itu didengar Suud lewat radio kecil pemberian kawannya. ”Saya dengar berita dia dibawa ke mana, pakai mobil apa. Itu saya ikuti terus,” ujar Suud.

Meski berkawan cukup singkat, Sugeng sudah meninggalkan kesan dalam pada batin Suud Rusli. Beberapa kali, pria berpangkat terakhir kopral dua (kopda) itu ngobrol. Namun, obrolan tersebut tak pernah menyinggung soal hukuman mati. ”Dia baik, supel, dan enak diajak ngobrol,” kata Suud.

Memang, kesan baik itu akhirnya hanya bertahan dua bulan lantaran hidup Sugeng berakhir di hadapan regu tembak. Suatu hal yang mungkin saja terjadi pada Suud Rusli kelak. Suatu hal yang tak bisa dimungkiri membuat Suud gundah.

***

Namun, Suud tak cuma bisa gundah. Pria yang pernah menikah dua kali itu masih berhadap ada keajaiban yang bisa mengubah nasib dan hukumannya. Bukan ujung peluru yang membuatnya gemetar. Namun, harapan bahwa dia bisa kembali merajut keutuhan rumah tangga dan hidup bahagia bersama anaknya adalah hal yang membuatnya terus ingin hidup. ”Mudah-mudahan ada keajaiban,” tutur Suud. Pria tinggi besar itu kini menunduk. Matanya memerah, membendung air mata.

Memang, keluarga adalah salah satu yang menyemangati Suud. Sebab, Suud merasa sangat jauh dengan keluarga, apalagi anak-anaknya. Dari perkawinannya, Suud memiliki dua anak. Yang pertama sudah kelas 3 SMP dan tinggal di Trenggalek bersama istri pertama Suud. Yang kedua tinggal bersama istri kedua Suud di Kupang.

Selama hidup, Suud mengaku hanya bertemu empat kali dengan anaknya. “Bertemu sebentar-sebentar karena harus kembali tugas,” katanya lirih. Mata Suud kembali sembap. Kesibukan itulah yang akhirnya membuat keluarganya berantakan dan berujung perceraian.

Kini, Suud berusaha membangun diri baru. Dia mengaku ingin menjadi orang yang lebih berarti. ”Saya harus membuka lembaran baru,” tegasnya. Karena itu, Suud enggan menceritakan secara detail kejadian yang membuatnya harus menghuni bui tersebut.

Memang, kadang bayangan pembunuhan yang dia lakukan itu masih berseliweran di benaknya. Misalnya, kenangan saat dia harus memberondongkan isi pistol kepada target hingga benar-benar tewas.

Salah satu cara Suud melupakan kejadian itu adalah membuat catatan harian dalam buku agenda. Di buku setebal dua sentimeter dan bersampul hitam tersebut, Suud mencurahkan isi hati, kegundahan, dan seluruh pengalamannya. Baginya, menulis adalah satu-satunya pelarian yang bisa dilakukan.

Suud mulai aktif menulis catatan harian itu sejak pindah dari RTM Wonoayu, Surabaya, ke Lapas Porong. “Sebenarnya, ada beberapa catatan yang tidak sempat terbawa waktu pindah dulu,” katanya.

Suud membagi catatannya menjadi dua tema. Tema pertama mengenai perjalanan hidupnya sejak kecil, masa sekolah, remaja, hingga menjadi anggota Marinir. Di buku tersebut, dia menceritakan pengalaman-pengalaman selama menjalankan tugas negara. ”Kalau membaca catatan itu, saya seperti kuat lagi. Seperti ada semangat baru,” tuturnya. Dia juga bercerita soal masa-masa sulit ketika harus meninggalkan istri yang mengandung demi tugas.

Untuk menambah warna-warni catatan, Suud menempelkan potongan gambar-gambar khas militer. Misalnya, pesawat tempur, tank, prajurit yang siap menembak, dan sebagainya. Meski semu, gambar-gambar itu membangkitkan sedikit kebanggaan masa lalunya.

Tema kedua, Suud menulis rencana hidupnya. Sebab, dia yakini bahwa hidupnya masih panjang, meski hakim telah memvonisnya hukuman mati. “Saya yakin masih punya kehidupan,” katanya. Namun, Suud malu membeberkan rencananya secara rinci. Dia hanya mengatakan ingin menjadi pengusaha ulung yang mempekerjakan orang-orang miskin dan pengangguran.

Di buku itu, dia juga mencurahkan rasa kangen kepada anaknya. Saking kuatnya rasa ingin bertemu, Suud membuat percakapan imajiner antara dirinya dan sang anak. Suud juga membuat catatan tanya jawab seandainya anaknya ditanya orang tentang dirinya. Lewat tanya jawab tersebut, Suud ingin anaknya tetap bangga terhadap dirinya.

Berikut petikan tulisan Suud untuk anaknya:

Dari ayah untuk anak, jawablah, Nak

Orang bertanya: Apakah itu ayahmu yang dipenjara?

Anak : Betul, itu ayah saya.

Orang bertanya: Apakah kamu tidak minder atau malu?

Anak: Sebagai anak yang berba
kti kepada orang tua, tidak perlu minder dan malu. Saya akan berjuang. Kejadian ini akan menjadi jalan agar ayah dan ibu dicintai Allah. Ini menjadi jalan untuk membuktikan ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah.

Orang bertanya: Apakah ayahmu seorang penjahat?

Anak : Ayah bukan seorang penjahat. Ayah hanya diuji dengan kejadian ini.

Tulisan tersebut dibuat saat Suud merasakan rindu yang luar biasa kepada anaknya. Dengan membaca itu, Suud merasa seolah-olah sedang memangku, memeluk anaknya, dan berbincang-bincang dengan hangat. ”Semoga anak saya membaca tulisan ini dan membesuk saya di sini. Saya sangat kangen,” katanya lantas terdiam. Matanya sejenak memandangi tulisan yang ujungnya dilipat sebagai penanda itu.

***

Suud Rusli mengaku kerap tak habis pikir melihat banyak kawannya begitu murung di Lapas Porong. Padahal, rata-rata ”hanya” divonis tujuh hingga sepuluh tahun penjara. “Saya iba dengan mereka. Saya dekati mereka dan saya bandingkan dengan yang saya alami,” tuturnya.

Kemurungan, bagi Suud, sama dengan menyia-nyiakan waktu. Menurut dia, penjara harus menjadi momen memperbaiki diri. ”Kenapa tidak berbuat sesuatu yang baik? Kalau bisa, bermanfaat untuk orang lain,” ujarnya.

Kepada beberapa temannya, Suud juga berkata bahwa manusia harus yakin kepada Yang Mahakuasa. Dengan demikian, manusia tidak kalah dengan berbagai rintangan dan cobaan. Itu pula salah satu prinsip yang membuatnya tegar menghadapi hukuman mati yang tengah menunggunya. Bahkan, dia masih berharap punya masa depan yang panjang. ”Di dunia ini, Tuhan yang ngatur,” ujarnya.

Apakah Anda takut? Dia mengakui, sebagai manusia biasa, ada sedikit ketakutan saat membayangkan kematian itu. Namun, dia telah pasrah kepada keputusan Allah. “Saya yakin, apa yang Allah berikan kepada saya adalah yang terbaik untuk saya,” tuturnya.

Keyakinan itulah yang menjadi pegangannya selama menunggu hukuman di Lapas Porong. Dalam keseharian, dia banyak membuka diri dan berkomunikasi dengan teman-temannya. Mereka berbicara soal kehidupan, agama, dan manusia. Hal itulah yang membuatnya sangat betah tinggal di Lapas Porong. “Suasananya sangat tenang. Saya lebih happy,” tambahnya dengan nada bersemangat.

Di Lapas Porong, dia mengaku banyak menemukan hal baru. Salah satu yang menjadi kegemarannya adalah melihat sapi yang dipelihara di belakang lapas. Dia mengaku sangat jarang, bahkan belum pernah melihat sapi dari jarak dekat. Selain hewan, dia mulai menggemari tanaman.

Dari tanaman, Suud mengaku mendapatkan inspirasi luar biasa yang membuatnya semakin bersemangat. Suud menceritakan, suatu ketika temannya menanam dua tanaman sekaligus. Jenis tanaman itu sama, ditanam di tempat yang sama, dengan perawatan yang sama pula. Setelah beberapa saat, salah satu tanaman tersebut dipindahkan. “Ternyata, tanaman yang dipindahkan itu bisa tumbuh lebih cepat ketimbang satunya lagi,” katanya.

Dari sana, dia mengambil hikmah. Yaitu, bagaimanapun keadaan seseorang, asalkan mau berusaha, nasibnya akan berubah. Hal itu pula yang membuatnya tidak larut dalam kesedihan membayangkan maut.

Suud mengaku sedih saat dikesankan sebagai orang yang kejam karena telah membunuh orang. Apalagi, dia pernah berhasil melarikan diri dari rutan militer dengan supermaximum security. “Saya bukan seperti itu. Saya melakukan itu (lari) karena terpaksa,” kata Suud. Namun, dia minta agar alasannya tersebut tidak dipublikasikan.

Dia mengatakan, seandainya mau berbuat jahat, dia bisa melakukan apa saja. Namun, dia tidak ingin melakukan itu. “Saya bukan orang jahat,” tambahnya.

Suud menyadari bahwa kondisi Lapas Porong tidak seketat di Rutan Militer. Tapi, Suud berjanji tidak akan berbuat macam-macam, seperti melarikan diri. “Kalau manusia diperlakukan sebagai manusia, dia bisa menjadi lebih dari manusia. Tapi, jika manusia diperlakukan seperti hewan, dia bisa liar melebihi hewan,” tegasnya.

***

Di akhir wawancara, Suud kembali menunjukkan kehangatan dan kepiawaian baru. Suud, ternyata, sadar foto dan angle pemotretan.

”Difoto di sini saja, Mas.”

”Saya harus senyum, ya?”

”Ah, lebih baik di sini, cahayanya bagus. Jatuhnya sinar itu lho, nanti bisa pas.” (eko/may/dos)

Nama : Suud Rusli

Usia : 39 tahun

Kejahatan : Membunuh Dirut PT Asaba Boedyharto Angsono dan pengawalnya, Edy Siyep, pada 19 Juli 2003 di Jakarta Utara.

Hukuman : Vonis mati oleh Pengadilan Militer pada 2004.

Catatan khusus : Dua kali melarikan diri. Yakni, 5 Mei 2005 (dari RTM Cibinong) dan 6 November 2005 (dari RTM Cimanggis).

sumber : Jawapos

Foto : Suud Rusli

Mereka Yang Menunggu Hukuman Mati Segera Adili Jagal Keputran

No comments yet

Leave a Reply





XHTML: You can use these tags: