Parcel, Gratifikasi yang Dilarang!
Parcel selalu menjadi polemik menjelang hari raya Idul Fitri seperti sekarang ini. Banyak kalangan menilai, pejabat negara dan pegawai negeri sipil (PNS) seharusnya tidak menerima parsel. Polemik semacam ini perlu disikapi dengan penjelasan yang obyektif, karena hal ini menyangkut proses pembelajaran bagi masyarakat pada umumnya.
Persoalan parcel dikaitkan dengan gratifikasi memerlukan penjelasan secara akademik, sehingga tidak secara apriori memberikan suatu penilaian yang cenderung negatif. Biasanya pada saat menjelang Hari Raya dan Tahun Baru banyak aktivitas yang menyangkut persoalan parsel. Dalam pengertian sehari-hari kata parsel yang berasal dari bahasa Inggris parcel berarti; bungkusan, bingkisan atau paket.
Dengan demikian, maka parsel adalah merupakan sebuah pemberian yang berupa bingkisan atau paket yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk yang menarik untuk diberikan kepada seseorang, yang dalam hal ini adalah penyelenggara negara.
Persoalan parcel menjadi mengemuka setelah adanya UU 20/2001 tentang Perubahan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 B ayat (1) menentukan: “Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut dan seterusnya …”.
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 12 B ayat (1) menentukan, yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Dengan adanya ketentuan dalam pasal 12 B ayat (1) di atas yang menyatakan gratifikasi sebagai suatu pemberian yang berhubungan dengan jabatan penyelenggara negara untuk berbuat yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sudah jelas kiranya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yaitu dengan adanya gratifikasi yang mempunyai pengertian suap.
Pemberian parsel juga termasuk dalam pengertian gratifikasi (pendapat penulis), dan pemberian parsel mempunyai pengertian suap apabila memenuhi kriteria pasal 12 B ayat (1) di atas. Jadi apabila pemberian parsel dilakukan dalam rangka berkaitan dengan jabatan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, maka pemberian parsel tersebut merupakan tindakan suap, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang.
Persoalannya sekarang, apakah setiap pemberian yang berbentuk parsel tersebut selalu merupakan perbuatan melawan hukum ? tentunya hal ini harus dikaitkan dengan rumusan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kita tidak boleh secara apriori mengatakan bahwa terhadap setiap pemberian parsel kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara adalah merupakan gratifikasi yang dilarang. Pemberian yang dilakukan secara wajar tentunya harus dinilai secara wajar pula agar tidak terjadi keragu-raguan dalam penerapannya.
Usuran wajar tidaknya suatu pemberian dapat dilihat dari nilai nominal dari pemberian tersebut. Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Bagir Manan bahwa kalau nilai nominalnya misalnya sekitar 300 ribu rupiah tentunya hal ini merupakan suatu yang wajar. Memang dalam hal ini tidak ada ketentuan tentang nominal yang ditetapkan. Namun berdasarkan pasal 12 B ayat (1) huruf a dan b disebutkan nilai sebesar 10 juta rupiah sebagai gratifikasi yang harus dibuktikan keabsahannya.
Kita saat ini memang dituntut untuk bersemangat melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun dalam hal ini tetap harus dilakukan secara proporsional menurut kriteria perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa pendapat yang berkembang terhadap persoalan ini, yaitu seperti yang dikatakan oleh Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, yang menyatakan bahwa dalam memandang korupsi tidak cukup dilakukan secara formal belaka, melainkan korupsi harus dipandang sebagai bahaya laten.
Pernyataan yang demikian itu sesungguhnya mengingatkan kepada kita agar selalu waspada terhadap setiap pemberian dari seseorang supaya tidak terjebak pada rumusan yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Munculnya terminologi gratifikasi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan UU 20/2001 tentang perubahan UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini yang menjadi sasaran adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai aparatur negara. Pengertian seorang pegawai negeri keberadaannya sudah banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya. Namun siapakah yang dimaksud dengan penyelenggara negara tersebut ?
Berdasarkan UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme Pasal 1 angka 1, yang dimaksud sebagai Penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Melihat rumusan tersebut tentang penyelenggara negara dapat dikatakan bahwa jangkauan dari penyelenggara negara ini sangat luas karena meliputi ketiga bidang kekuasaan negara. Hal ini menunjukkan adanya bukti keseriusan negara dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bersih.
Pengertian penyelenggara negara yang bersih adalah Panyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya. Disamping itu juga harus diperhatikan berlakunya asas umum pemerintahan negara yang baik, yaitu asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sesungguhnya begitu idealnya negeri kita dalam memberikan rambu-rambu hukum agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam hal penyelenggaraan negara. Persoalannya sekarang tinggal bagaimana implementasinya di lapangan. Barangkali hal yang harus dibuktikan pula, yaitu adanya keseriusan dalam hal penerapan dan penegakkan hukumnya, sehingga apakah antara apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang senyatanya (das sein) dapat terlihat secara signifikan.
Kembali pada persolan parsel dalam kaitannya dengan gratifikasi, maka yang perlu diperhatikan adalah menyangkut tujuan dari pemberian parsel tersebut. Kalau sekiranya pemberian tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mempengaruhi penyelenggara negara agar berbuat menyimpang dari tugas dan kewajibannya yang seharusnya, maka hal tersebut merupakan suatu gratifikasi yang dilarang.
Sedangkan apabila pemberian parsel tersebut semata-mata hanya sekedar pemberian dalam rangka ucapan selamat sebagai momentum dalam hari raya tanpa ada maksud yang lain, tentunya hal tersebut tidak termasuk dalam pengertian gratifikasi yang “diharamkan”.
Ketentuan pasal 12 UU 20/2001 huruf a menentukan: “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau huruf b yang menentukan : pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”. Maka kepada mereka yang telah melanggar ketentuan huruf a dan b tersebut dapat dikenakan pidana.
Setelah memperhatikan ketentuan normatif tersebut tentunya sudah dapat diketahui apakah pemberian parcel tersebut merupakan gratifikasi yang dilarang atau bukan. Dengan demikian kita tidak perlu apriori terhadap “bergeraknya” banyak parcel menuju ke parapenyelenggara negara yang banyak dipersoalkan dalam masyarakat dan media masa tersebut. Namun demikian kita harus tetap menjaga komitmen untuk melawan korupsi dimana didalamnya terdapat gratifikasi yang dilarang sebagai salah satu tendensinya.
* Heru Susanto, Dosen Fakiltas Hukum Ubaya
Sumber : Surabaya Pagi